MAKALAH PERKAWINAN ANTAR AGAMA
M A K A L A H
PERKAWINAN ANTAR AGAMA
Diajukan Untuk Memenuhi
Tugas Mata Kuliah
Masail Fiqih Al-Hadist
DOSEN :H. RIF’AN SYAFRUDDI
DISUSUN OLEH :
Nama : BUDY ANOOR
Jurusan :
S1 PAI
Semester : III (Transfer)
Lokal :
6 (Enam)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
(STAI)
RASYIDIYAH KHALIDIYAH
(RAKHA)
AMUNTAI 2008
BAB I
PENDAHULUAN
Membicarakan masalah
perkawinan selalu menarik, karma dalam lembaga yang unik ini penjumlahan dalam
matematika tidaklah berlaku : satu tambah satu sama dengan dua. Dalam lembaga
istemewa ini mungkin saja satu tambah satu sama dengan tiga , empat ,lima atau kalau dikaitkan
dengan program keluarga berencana terutama bagi pegawai negri, satu tambah satu
tidak mungkin lebih empat atau sebanyak-banyaknya sampai kepada lima hasilnya.
Dalam kehidupan
sehari-hari kita tidak terlepas masalah yang muncul di lingkungan sosial
masyarakat yang menarik untuk dikaji terutama pokok permasalahan yang ada yaitu
pernikahan, akan tetapi yang menjadi permasalahan adalah pernikahan antar agama
yang timbul dilingkungan masyarakat yang pada dasarnya mayoritas beragama
islam, baik yang dilihat secara langsung oleh masyarakat atau melalui media
masa, dari situ masyarakat akan muncul pertanyaan, boleh atau tidak? (dalam pandangan
islam).
Permasalahan tersebut perlu adanya pemecahan
yang mendasar yang bisa diterima oleh masyarakat awam atau akademik, permasalan
yang timbul akan mendapat tanggapan beragam dari masyarakan, baik yang positif
atau negative.
Semua mazhab sepakat
bahwa laki-laki dan perempuan muslim tidak boleh kawin dengan orang-orang yang
tidak mempunyai kitab suci atau yang dekat dengan kitap suci (syibh kitab).
Orang-orang yang masuk dalam katagore ini adalah para penyembah berhala,
penyembah matahari, bintang, dan benda-benda lain yang mereka puja dan setiap
orang zindik yang tidak percaya kepada Allah SWT.
Al Maududi berkata
bahwa orang-orang non-muslim bisa dibedakan dalam dua kelompok :
1. Kelompok yang amat jauh dari agama
islam peradapannya dan kepercanyaannya terhadap penyembah berhala dan kaum
atheis. Mengawini wanita dari kelompok ini hukumnya haram mutlak.
2. Kelompok yang agak dekat dengan
agama islam seperti orang-orang ahli kitab yang percaya kepada Allah SWT dan
hari akhir. Islam telah membolehkan kawin dengan wanita dari kelompok ini,
apabila dalam keadaan darurat atau terpaksa, sehingga tidak tergelincir dalam
perbuatan yang diharamkan Allah SWT.
Hal ini telah
dijelaskan dalm ayat 5 surah Al maidah yang artinya “Barang siapa yang kafir
sesudah beriman (tidak menerima hokum-hukum islam) maka hapuslah amalnya dan ia
dihari akhir termasuk orang-orang merugi”. (Q.S. Al Maidah:5).
Pada akhir ayat
tersebut terdapat peringatan bahwa kawin dengan wanita non-muslimah bisa
mengancam keimanan. Jadi jelaslah bahwa syariat islam hanya akan memperbolehkan
perbuatan. Yang membahayakan keimanan ini –jikalau orang islam hanya akan dalam
keadaan yang luar biasa dan untuk kebutuhan yang luar biasa pula. Jadi, boleh
hukumnya tapi merupakan rukhsan (keringanan hokum).
Di saat islam mencapai
kejayaan, sahabat Umar r.a meberi peringatan keras kepada umat islam, beliau
berkata : “Dengan diperbolehkannya mengawini wanita ahli kitab, dikawatirkan
ada wanita pelacur dari ahli kitab yang menyusup kedalam tubuh umat islam. Maka
sebaiknya umat islam jangan sampai menggunakan rukhsan. Dengan demikian hokum
mengawini wanita kitabiyah berada diatas makruh.
Sebagai mana juga
telah di katakan oleh Al-Maududi bahasa wanita-wanita. Barat telah lama
berusaha masuk mempengruhi kehidupan social umat islam dan mereka berupaya
sekuat tenaga untuk menumbangkan peradapan islam. Lebih jauh dari itu, hal yang
demikian ini bisa mengakibatkan timbulnya nilai-nilai politis yang tidak di
keluar dari umat islam.
BAB II
PERKAWINAN ANTAR AGAMA
A. Pengertian Perkawinan
Antar Agama
Dalam kepustakaan hukum di Indonesia ,
istila perkawinan campuran mempunyai arti yang luas. Kedalamnya termasuk juga
perkawinan antara orang-orang yang kewarganegaraan , tempat, golongan dan
agama, berlainan pada hukum yang mengarah perkawinan mereka. Yang di maksud
perkawinan campuran di dalam tulisan ini adalah perkawinan campuran dalam arti
yang sempit yaitu perkawinan antara dua orang, pria dan wanita, yang tunduk
pada hukum yang berlainan karena perbedaan agama. Perkawinan campuran disini
dapat pula disebut perkawin antara dua orang yang berbeda agama, dalam
kepustakaan dan juga media massa ,
sering disebut perkawinan antara agama.
B. Pandangan Terhadap
Perkawinan Beda Agama
Mengenai perkawinan beda agama ini ada
beberapa pandang dan pendapat membicarakan tentang hal ini :
1. Menurut Agama-Agama yang ada di Indonesia .
Semua agama yang ada dan diakui keberadaannya
dalam Negara Repoblik Indonesia, padahakikatnya, berpendapat bahwa perbedaan
agama merupakan halangan bagi pria dan wanita untuk mengesahkan perkawinan
selama sah. Sebagai contoh “ambillah agama katolik, protestan, dan islam, dan
agama-agama yang relatif banyak penduduknya ditanah air kita”.
Agama katolik dengan tegas menyatakan bahwa
“perkawinan antar seorang katolik dengan agama lain, tidak tidak sah (kanon
1086).” Namun demikian bagi mereka yang sudah tidak mungkin lagi dipisahkan,
karena cintanya sudah terlanjur medalam,pejabat gereja yang berwenang, yakni
dapat memberikan dispensasi (pengecualian dari aturan umum untuk suatu keadaan
yang khusus dengan jalan mengetahui pemeluk agama katolik dengan pemeluk agma
lain, asal kedua-duanya memenuhi syarat yang ditentukan dalam hokum gereja
kawin 1125.
2. Menurut Undang-undang Perkawinan.
Undang-undang perkawinan mulai ber laku secara
efektif tanggal 1 oktober 1975 mempunyai ciri khas kalau di bandingkan dengan
hokum sebelumnya terutama dengan undang-undang atau peratuan yang di buat oleh
kolonial belanda dahulu yang menganggap perkawinan antar seorang pria dan
wanita hanya hubungan sekunder, hubungan sipil atau perdata saja, lepas sama
sekali dengan agama atau hokum agama.
Prof. Daud ali berpendapat diantaranya :
perkawinan antara orang-orang yang bertbeda agama dengan cara pengungkapannya,
sesunggahnya tidak sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam negara republic Indonesia dank arena
sahnya perkawinan didasarkan pada hokum agama, maka perkawinan yang tidak sah
menurut hokum agama, tidak sah pula menurut undang-undang perkawinan Indonesia.
Undang-undang perkawinan yang termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 berasaskan
agama. “Artinya sah tidaknya perkawinan seseorang ditentukan oleh hokum
agamanya. Ini sesuai dengan cita-cita hukum di indonesia, pancasila merupakan
salah satu kaidah punda mental negara yaitu ketuhanan yang maha Esa yang
disebut dan dirumuskan dalam pembukaan dan dirumuskan dalam batang tubuh
undang-undang dasar 1945 pasal 29 ayat 1 antar agama.
-
Pendapat 1 yang mengatakan bahwa perkawinan antara orang-orang yang
berbeda agama dapat saja di langsungkan sebagai pelaksanaan hak asasi manusia,
kebebasan seseorang untuk menentukan pasangannya, hak dan kedudukan manusia
suami dan istri yang seimbang dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup
bewrsama dalam masyarakat. Menurut pendapat ini perkawinan, perkawinan
mempergunakan S 1898 no.158 tentang perkawinan campuran peninggalan belanda
dahulu sebagai landasan dan mencatatkannya pada kantor sipil ditempat mereka
melangsungkan perkawinan, perbedaan agama. Menurut pendapat ini tidak boleh
menjadi penghalang di langsungkannya perkawinan.
-
Pendapat (2) mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974, tidak
mengatur perkawinan campuran orang-orang yang berbeda agama. Menurut pendapat
ini, perkawinan antara pasangan yang berbeda agama adalah suatu kenyataan.
Dalam masyarakat majemuk, seperti Indonesia , sulit untuk mencegah
adanya orang-orang berbeda agama yagn saling jatuh cinta dan ingin menjalin
hubungan dalam bentuk keluarga. Karena itu, kata penganut pendapat ini, perlu
dirumuskan ketentuan hukumnya. Daripada membiarkan kemaksiatan, demikian
penganut pendapat ini berargumentasi lebih lanjut, lebih baik membenarkan atau
mensahkan perkawinan orang-orang yang saling jatuh cintah itu, meskipun keyakinan
agama yang mereka anut berbeda.
-
Pendapat (3) mengatakan bahwa perkawinan campuran antara orang-orang yang
berbeda agama tidak dikehendaki oleh pembentuk Undang-Undang yaitu pemerintah
dan DPR Republik Indonesia .
“Kehendak itu dengan tegas dinyatakan dalam pasal 2 ayat (1) Mengenai sahnya
perkawinan dan pada pasal pasal 8 huruf (f) mengenai larangan perkawinan
“dengan jelas dirumuskan bahwa “Perkawinan dilarang antara lain dua orang yang
mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan yang berlaku di larang
kawin.” Artinya Undang-Undang Perkawinan melarang dilangsungkan atau disahkan
perkawinan yang dilarang oleh agama dan peraturan lain yang berlaku dalam
negara Republik Indonesia .
Oleh karena itu pula pembenaran dan pengesahan perkawinan campuran orang-orang
yang berbeda agama, selain bertentangan dengan agama atau hukum agama, juga
bertentangan pula dengan undang-undang perkawinan yang berlaku bagi segenap
warga negara dan penduduk Indonesia .
Bahwa
mengenai perkawinan beda agama ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan
fatwa tentang perkawinan antara umat beragama berdasarkan keputusan No.
05/Kep/Munas II/MUI/1980. “Fatwa tersebut berisi ; (1) perkawinan wanita
muslimah dengan laki-laki non muslim adalah haram hukumnya (2) seorang
laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslim, tentang perkawinan
antara laki-laki muslim dan wanita ahli kitab terdapat perbedaan pendapat.
Setelah mempertimbangkan bahwa mafsadatnya lebih besar daripada maslahatnya
maka Majelis Ulama Indonesia memfatwakan perkawinan tersebut hukumnya haram.
3. Menurut Pandangan Ajaran Agama
Islam
Mengenai
perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama Islam telah mengatur secara
jelas dan tegas melarang perkawinan dengan orang musyrik sebagaimana firman-Nya
dalam surat Al-Baqarah
(2) : 221 ;
ولا تنكحوا
المشركت حتى يؤمن
Artinya : “Dan
janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman”
Larangan
serupa juga ditujukan kepada para wali agar tidak menikahkan
perempuan-perempuan yang berada dalam perwaliannya kepada laki-laki musyrik
ولا تنكحوا
المشركين حتى يؤمنوا
Artinya “Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita muslim)
sebelum beriman (Q.S. Al Baqarah : 221)
Jalan
yang lebih aman adalah menghindarkan dari persoalan-persoalan yang banyak
mengandung teka-teki dan memilih jalan yang sudah jelas arahnya, yaitu menikah
dengan sesama muslim. Dengan demikian resiko yang dihadapi lebih kecil dalam
membina rumah tangga.
Dalam
agama Islam ada suatu prinsip yaitu suatu tindakan preventif (pencegahan)
ibaratnya menjaga kesehatan lebih utama atau lebih baik dari pada mengobatinya
setelah dibiarkan sakit lebih dahulu, membenarkan perkawinan dengan non muslim
berarti mengundang penyakit, yaitu penyakit kufur (murtad), menghindari menikah
dengan mereka, berarti telah mengadakan preventif (pencegahan). Dalam istilah
agama dikenal dengan سد الدريعة) (menutup jalan) yaitu “ Menjaga sebelum terjadi hal-hal yang
tidak baik.
Tujuan
setiap orang dalam berumah tangga (perkawinan) adalah untuk memperoleh
ketentraman dan ketenangan jiwa serta mendapatkan keturunan yang baik (shaleh)
C. Perkawinan Pria Muslim
dengan Wanita Bukan Ahli Kitab
Perkawinan
pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab terbagai menjadi :
a. Perkawinan dengan wanita penyembah
berhala
ولاتمسكوا بعصم الكوافر ...
(المتحتة : ۱٠)
Artinya : “Dan
janganlah kamu tatap berpegang pada tali (perkawinan) dengan
perempuan-perempuan kafir (Al-Muntahanah : 10)
b. Perkawinan dengan wanita majusi
Pria
muslim juga tidak diperbolehkan menikah dengan wanita majusi (penyembah api)
sebab mereka tidak termasuk ahli kitab. Demikian pendapat jumhur ulama dan yang
dimaksud dengan ahli kitab adalah Yahudi dan Nasrani.
Sedangkan
golongan zahiriyah memperbolehkan pria muslim menikah dengan wanita majusi,
karena orang-orang majusi dimasukkan ke dalam kelompok ahli kitab. Dalam
persoalan ini, yang dipandang paling tepat adalah pendapat Jumhur Ulama’ yaitu
pria muslim tidak dibenarkan menikah dengan wanita majusi sebab mereka tidak
termasuk ahli kitab. Sebagaimana ditegaskan dalam firman Allah SWT.
أن تقو لوا انما انزل الكتب على طائفتين من قبلنا وان
كنا عن دراستهم لغلفون (الانعام : ١٥٧)
Artinya
“ (kami turunkan Al-Qur’an itu) agar kamu (tidak) menyatakan : bahwa kitab itu
hanya diturunkan kepada dua golongan (Yahudi dan Nasrani) saja sebelum kami dan
setengahnya kami tidak memperhatikan apa yang mereka baca (Al-An’am : 156)
c. Perkawinan dengan Wanita Musyrik
Agama
islam tidak memperkenakan pria muslim kawin dengan wanita musyrik, sebagaimana
dijelaskan dalam firman Allah SWT.
ولاتنكحوا المشركت حتى يؤمن ولآمة مؤمنة خير من مشركة
ولو أمجبتكم ... (البقرة : ٢٢١)
Artinya
; “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum beriman
sesungguhnya wanita buday yang mukmin lebih baik daripada wanita musyrik
walaupun dia menarik hatimu (QS. Al-Baqarah : 221)
d. Perkawinan dengan wanita Shabi’ad
Shabi’ah
adalah satu golongan dalam agama Nasrani, Shabi’ah dinisbatkan kepada shab peran
Nab Nuh as. Adapula yang terdapat dinamakan shabiah, karena berpindah ada yan mengatakan termasuk ahli
kitab dan adapula yang mengatakan bukan,dengan demikian, hukum perkawinan
dengan wanita shabiah denagn berbeda pendapat, tentang abu hanifah berpendapat
bolh kawin dengan wanita shabiah mazhab maliki tidak membolehkan.
a) Menurut pendapat jumhur ulama baik
hanafi, syafii dengan hambali seorang pria muslim diperbolehkan menikah wanita
ahli kitab yang berbeda lingkungan (kekuasaan) negara Islam (Ahli Dzimmah)
b) Golonan syiah Imamiyah, dan syi’ah
zailiyah berpendapat bahwa para muslim tidak boleh kawin dengan ahli kitab.
Dalam
kaidah fiqih mengatakan “menghindari dari mudharaf harus didahulukan ata
mencari/menarik maslahat (kebaikan). Setelah dipikirkan lebih banyak
mudharafnya dari pada manfaatnya. Umpamanya dengan alasandakwah supaya wanita
non muslim memeluk agama tetapi yagn dikhawatirkan kalau kita yang sebaliknya
terpengaruh dan akhirnya pindah agama.
Menurut
sementara, ulama walaupun ada ayat yang membolehkan perkawinan pria muslim
dengan wanita ahli kitab (penganut agama yahudi dan nasrani) yakni surat Al-Maidah : 5
menyatakan :
والمحصنت من
المؤمنت والمؤمنت المحصنت من الذين اوتو الكتاب
Artinya “Dan
(dihalalkan pula) bagimu (mengawini) wanita,-wanita terhormat diantara
wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang terhormat diantara
orang-orang yang dianugerahi kitab (suci) (Q.S. Al-Maidah : 5)
Tetapi izin tersebut
telah digugurkan oleh surat
Al Baqarah : 221
ولا تنكحوا المشركين حتى يؤمنوا
Artinya : “Dan
janganlah kamu menikahi orang-orang musyrikk (dengan wanita-wanita mukmin)
sebelum mereka beriman”, (Q.S. Al Baqarah 2211)
Dan
perlu diperjelas pula dalam Al-Qur’an menyebutkan tentang halalnya wanita
kitabiyah bagi laki-laki muslim, setiap Al-Qur’an tidak menyangkutkan tentang
halalnya wanita muslimah bagi laki-laki kitabiyah dengan alasan maka para ulama
mengharamkan : firman Allah SWT
ولا يجعل
الله للكفرين على المؤمنين سبيلا
Artinya : Dan Allah
sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan
orang-orang yang beriman (QS. An-Nisa : 141)
Demikianlah
garis yang disyariatkan Allah SWT agar dakwah kepada ahli kitab dilakukan
dengan perbuatan, agama memperbolehkan orang muslim menikahi dengan wanita
kitabiyah, karena dengan perkawinan itu diharapkan memperoleh tali kekeluargaan
dengan keluarga ahli kitab apabila kesan muslim seperti yang dikehendaki Islam,
dengan kehalusan budi pekerti yang baik, kebaikan hatinya itu akan menarik
keluarga isterinya kepada Islam, dengan kehalusan budi pekerti tanpa disadari
mereka akan tertarik dan kemudian memeluk Islam, karena kebaikan hati dan
pergaulan dari pihak suami besar pengaruhnya bagi sang isterinya dan bukan
sebaliknya.
BAB III
KESIMPULAN
Sesungguhnya
Perkawinan Berbeda Agama, dengan berbagai cara pengungkapannya sesungguhnya
tidaklah sah menurut agama yang diakui keberadaannya dalam negara Republik Indonesia . Dan,
karena sahnya perkawinan didasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang
tidak sah menurut hukum agama, tidak sah pula menurut Undang-Undang perkawinan Indonesia
Ketentuan-ketentuan
Seorang muslim mengawini wanita non muslimah Al-Maududi berkata bahwa orang-orang
nonmuslim bisa dibedakan dalam dua kelompok :
1.
Kelompok yang amat jauh dari
agama Islam, peradabannya dan kepercayaannya seperti kaum menyembah berhala dan
kaum Atheis. Mengawini wanita dari kelompok ini hukumnya haram mutlak.
2.
Kelompok yang agak dekat dengan
Islam seperti orang-orang Ahli Kitab yang percaya kepada Allah dan hari akhir.
Islam telah membolehkan kawin dengan wanita dari kelompok ini, apabila dalam
keadaan darurat atau terpaksa, sehingga tidak tergelincir dalam perbuatan yang
diharamkan Tuhan.
Hal ini dijelaskan dalam ayat 5 Surat Al-Maidah, dimana
ayat tersebut diakhiri dengan firman Allah : Barang siapa yang kafir sesudah
beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia
dihari kiamat termasuk orang-orang merugi” (Q.S. Al-Maidah : 5)
Pada surat diatas memberi peringatan bahwa kawin
dengan wanita non muslimah bisa mengancam keimanan. Jadi jelaslah bahwa syariat
Islam hanya akan membolehkan perbuatan yang membahayakan keimanan ini jikalau
orang Islam dalam keadaan yang luar biasa dan untuk kebutuhan yang luar biasa
pula. Jadi, boleh hukumannya tapi merupakan rukhsah (keringanan hukum).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mutaal Muhammad
Al-Jabry, Perkawinan
campuran menurut pandangan Islam, Bulan Bintang, Jakarta 1988 h 2-3
Prof. H. Mohammad
Daud Ali, S.H. Hukum Islam dan Peradilan Agama (Kumpulan tulisan), PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta
Muhammad Jawad
Mughniyah, Fiqih
Lima Mazhab, Jakarta Lentera, 2006 h. 336 - 337
0 Response to "MAKALAH PERKAWINAN ANTAR AGAMA"
Posting Komentar