Iklan

Iklan dalam feed

Artikel hukum Islam dan hukum adat indonesia



HUKUM ISLAM DAN HUKUM ADAT INDON`ESIA

ARTIKEL











DIAJUKAN UNTUK MEMENUHI TUGAS HUKUM ISAM
DOSEN PEMBIMBING : DOMI HIDAYAT, S.Hi

DISUSUN :

O
L
E
H
NAMA : BUDIANOOR
NPM    : 10.12.02183



SEKOLAH TINGGI ADMINISTRASI NEGARA ( STIA )
AMUNTAI KALIMAANTAN SELATAN
2010/2011
HUKUM  ISLAM  DAN  HUKUM  ADAT  INDONESIA



A.PENGERTIAN HUKUM  ISLAM


Pengertian Hukum Islam (Syari'at Islam) - Hukum syara’ menurut ulama ushul ialah doktrin (kitab) syari’ yang bersangkutan dengan perbuatan orang-orang mukallaf dengan perbuatan secara perintah atau diperintahkan memilih atau berupa ketetapan (taqrir). Sedangkan menurut ulama fiqh hukum syara ialah efek yang dikehendaki oleh kitab syari’ dalam perbuatan seperti wajib, haram dan mubah .
            Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umatNya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah. Hukum Islam
Menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan.
Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut juga syara’, millah dan diin.
            Hukum Islam berarti keseluruhan ketentuan-ketentuan perintah Allah yang wajib diturut (ditaati) oleh seorang muslim. Dari definisi tersebut syariat meliputi:
  1. Ilmu Aqoid (keimanan)
  2. Ilmu Fiqih (pemahan manusia terhadap ketentuan-ketentuan Allah)
  3. Ilmu Akhlaq (kesusilaan)
Berdasarkan uraian di atas dapat penulis simpulkan bahwa hukum Islam adalah syariat yang  berarti hukum-hukum yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (aqidah) maupun hukum-hukum yang berhubungan dengan amaliyah (perbuatan).
Dewasa ini kaum muslimin banyak belum mengerti dan memahami hakekat sumber hukum yang menjadi rujukannya dalam beragama. Ironisnya pernyataan sumber hukum Islam adalah al-Qur`an dan sunnah serta Ijma’dan Qiyas merupakan hal yang sudah umum di masyarkat. Namun itu hanya sekedar slogan tanpa diketahui hakekatnya sehingga banyak para da’I dan tokoh agama berfatwa menyelisihi sumber-sumber hukum tersebut.
Padahal sudah sangat jelas kedudukan Ijma’ dalam agama ini, karena ijma’ adalah salah satu dasar yang menjadi sumber rujukan, pedoman dan sumber dasar hukum syari’at yang mulia ini setelah Al Qur`an dan Sunnah. Ijma’ bersumber dari Al Qur`an dan Sunnah, menjadi penguat kandungan keduanya dan penghapus perselisihan yang ada diantara manusia dalam semua perselisihan mereka.
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menyatakan: “Ijma’ adalah sumber hukum ketiga yang dijadikan pedoman dalam ilmu dan agama, mereka menimbang seluruh amalan dan perbuatan manusia baik batiniyah maupun lahiriyah yang berhubungan dengan agama dengan ketiga sumber hokum ini”. (lihat Syarh al-‘Aqidah al-Wasithiyah, Khalid al-Mushlih hal. 203)
Ijma’ menjadi sesuatu yang ma’shum dari kesalahan dengan dasar firman Allah dan Sabda Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam. lihatlah firman Allah:
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudahjelas kebenaran baginya. dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia kedalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruknya tempat kembali“. (QS. An-Nisaa’ 4:115)
dan sabda Rasululloh Shallallahu’alaihi Wasallam :
Umatku tidak akan berkumpul (sepakat) diatas kesesatan”. (HR. Asy-Syafi’I dalam Ar-Risalah)
Karenanya Syaikhul Islam menyatakan: “Agama kaum muslimin dibangun diatas ittiba’ kepada al-Qur`an dan Sunnah Rasululloh serta kesepakatan umat (ijma’). Maka ketiga ini adalah sumber hukum yang ma’shum”. (lihat Dar’u Ta’arudh al-‘Aql wa an-Naql, 1/272).
Demikianlah Allah Ta’ala menyatukan hati umat ini dengan Ijma’ sebagai rahmat dan karunia dariNya. Ijma’ umat ini dalam mayoritas dasar dan pokok agama dan banyak dari masalah furu’nya menjadi sebab kesatuan kaum muslimin, penyempitan lingkaran perselisihan dan pemutus perbedaan pendapat diantara orang yang berbeda pendapat.
Oleh karena itu,wajib bagi orang yang ingin selamat dari ketergelinciran dan kesalahan untuk mengetahui ijma’ (konsensus) kaum muslimin dalam permasalahan agama agar dapat berpegang teguh (komitmen) dan mengamalkan tuntutannya setelah benar-benar selamat dari penyimpangan (tahrif) dan memastikan kebenaran penisbatannya (penyandarannya) kepada syari’at serta tidak dibenarkan menyelisihinya setelah mengetahui ijma’ tersebut.
Para imam (ulama besar) umat ini telah sepakat memvonis sesat orang yang menyelisihi konsensus umat ini dalam satu permasalahan agama. Bahkan bisa menjadi sebab vonis kafir dan murtad dalam beberapa keadaan tertentu.
Karena itulah para ulama juga telah memperhatikan hal ini secara sempurna, tinggal kita semua kembali merujuk kepada keterangan mereka tentang ijma’ yang benar.
Semoga dengan kita menimbang semua amalan perbuatan yang berhubungan dengan agama kepada ketiga sumber diatas kaum muslimin dapat bersatu. Amien.


A.PENGERTIAN HUKUM ADAT
Ada dua pendapat mengenai asal kata adat ini. Disatu pihak ada yang menyatakan bahwa adat diambil dari bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Sedangkan menurut Prof. Amura, istilah ini berasal dari bahasa Sansekerta karena menurutnya istilah ini telah dipergunakan oleh orang Minangkabau kurang lebih 2000 tahun yang lalu. Menurutnya adat berasal dari dua kata, a dan dato. A berarti tidak dan dato berarti sesuatu yang bersifat kebendaan. Hukum adat adalah sistem hukum yang dikenal dalam lingkungan kehidupan sosial di Indonesia dan negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, India, dan Tiongkok. Hukum adat adalah hukum asli bangsa Indonesia. Sumbernya adalah peraturan-peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Karena peraturan-peraturan ini tidak tertulis dan tumbuh kembang, maka hukum adat memiliki kemampuan menyesuaikan diri dan elastis. Selain itu dikenal pula masyarakat hukum adat yaitu sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.
Dalam bahasa Inggris dikenal juga istilah Adat Law, namun perkembangan yang ada di Indonesia sendiri hanya dikenal istilah Adat saja, untuk menyebutkan sebuah sistem hukum yang dalam dunia ilmiah dikatakan Hukum Adat.
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat dari Muhammad Rasyid Maggis Dato Radjoe Penghoeloe sebagaimana dikutif oleh Prof. Amura : sebagai lanjutan kesempuranaan hidupm selama kemakmuran berlebih-lebihan karena penduduk sedikit bimbang dengan kekayaan alam yang berlimpah ruah, sampailah manusia kepada adat.
Sedangkan pendapat Prof. Nasroe menyatakan bahwa adat Minangkabau telah dimiliki oleh mereka sebelum bangsa Hindu datang ke Indonesia dalam abad ke satu tahun masehi.Prof. Dr. Mohammad Koesnoe, S.H. di dalam bukunya mengatakan bahwa istilah Hukum Adat telah dipergunakan seorang Ulama Aceh[1] yang bernama Syekh Jalaluddin bin Syekh Muhammad Kamaluddin Tursani (Aceh Besar) pada tahun 1630.[2] Prof. A. Hasymi menyatakan bahwa buku tersebut (karangan Syekh Jalaluddin) merupakan buku yang mempunyai suatu nilai tinggi dalam bidang hukum yang baik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adat adalah aturan (perbuatan dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; wujud gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dng lainnya berkaitan menjadi suatu sistem. Karena istilah Adat yang telah diserap kedalam Bahasa Indonesia menjadi kebiasaan maka istilah hukum adat dapat disamakan dengan hukum kebiasaan.[3]
Namun menurut Van Dijk, kurang tepat bila hukum adat diartikan sebagai hukum kebiasaan.[4] Menurutnya hukum kebiasaan adalah kompleks peraturan hukum yang timbul karena kebiasaan berarti demikian lamanya orang bisa bertingkah laku menurut suatu cara tertentu sehingga lahir suatu peraturan yang diterima dan juga diinginkan oleh masyarakat. Jadi, menurut Van Dijk, hukum adat dan hukum kebiasaan itu memiliki perbedaan.
Sedangkan menurut Soejono Soekanto, hukum adat hakikatnya merupakan hukum kebiasaan, namun kebiasaan yang mempunyai akhibat hukum (das sein das sollen).[5] Berbeda dengan kebiasaan (dalam arti biasa), kebiasaan yang merupakan penerapan dari hukum adat adalah perbuatan-perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam bentuk yang sama menuju kepada Rechtsvaardige Ordening Der Semenleving.
Menurut Ter Haar yang terkenal dengan teorinya Beslissingenleer (teori keputusan)[6] mengungkapkan bahwa hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma didalam keputusan-keputusan para pejabat hukum yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta didalam pelaksanaannya berlaku secara serta merta dan dipatuhi dengan sepenuh hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan tersebut. Keputusan tersebut dapat berupa sebuah persengketaan, akan tetapi juga diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah. Dalam tulisannya Ter Haar juga menyatakan bahwa hukum adat dapat timbul dari keputusan warga masyarakat.
Syekh Jalaluddin[7] menjelaskan bahwa hukum adat pertama-tama merupakan persambungan tali antara dulu dengan kemudian, pada pihak adanya atau tiadanya yang dilihat dari hal yang dilakukan berulang-ulang. Hukum adat tidak terletak pada peristiwa tersebut melainkan pada apa yang tidak tertulis dibelakang peristiwa tersebut, sedang yang tidak tertulis itu adalah ketentuan keharusan yang berada dibelakang fakta-fakta yang menuntuk bertautnya suatu peristiwa dengan peristiwa lain.
Definisi Hukum Adat
Menurut Prof. Mr. Cornelis van Vollenhoven, hukum adat adalah keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi (hukum) dan dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasi (adat). Tingkah laku positif memiliki makna hukum yang dinyatakan berlaku disini dan sekarang. Sedangkan sanksi yang dimaksud adalah reaksi (konsekuensi) dari pihak lain atas suatu pelanggaran terhadap norma (hukum). Sedang kodifikasi dapat berarti sebagai berikut.
  • menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kodifikasi berarti himpunan berbagai peraturan menjadi undang-undang; atau hal penyusunan kitab perundang-undangan; atau penggolongan hukum dan undang-undang berdasarkan asas-asas tertentu dl buku undang-undang yg baku.
  • menurut Prof. Djojodigoeno kodifikasi adalah pembukuan secara sistematis suatu daerah / lapangan bidang hukum tertentu sebagai kesatuan secara bulat (semua bagian diatur), lengkap (diatur segala unsurnya) dan tuntas (diatur semua soal yang mungkin terjadi).
sunting Ter Haar
Ter Haar membuat dua perumusan yang menunjukkan perubahan pendapatnya tentang apa yang dinamakan hukum adat.
  • Hukum adat lahir dan dipelihara oleh keputusan-keputusan warga masyarakat hukum adat, terutama keputusan yang berwibawa dari kepala-kepala rakyat (kepala adat) yang membantu pelaksanaan-pelaksanaan perbuatan-perbuatan hukum, atau dalam hal pertentangan kepentingan keputusan para hakim yang bertugas mengadili sengketa, sepanjang keputusan-keputusan tersebut karena kesewenangan atau kurang pengertian tidak bertentangan dengan keyakinan hukum rakyat, melainkan senafas dan seirama dengan kesadaran tersebut, diterima, diakui atau setidaknya tidak-tidaknya ditoleransi.[8]
  • Hukum adat yang berlaku tersebut hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para fungsionaris hukum (kekuasaan tidak terbatas pada dua kekuasaan saja, eksekutif dan yudikatif) tersebut. Keputusan tersebut tidah hanya keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi tetapi juga diluar itu didasarkan pada musyawarah (kerukunan). Keputusan ini diambil berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam rohani dan hidup kemasyarakatan anggota-anggota persekutuan tersebut.[9]

Penegak hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
  1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
  2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
  3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap "hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
  1. Penyamaan persepsi mengenai "hak ulayat" (Pasal 1)
  2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
  3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
Dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia saat ini terdapat
problematika-problematika yang kompleks dan sistemis yang mengakibatkan sulitnya
Hukum Indonesia mencapai tujuan filosofis dari hukum itu sendiri yaitu secara pertama
dan utama untuk memberikan keadilan bagi rakyat Indonesia secara riil dan substantif.
Problematika ini adalah akibat adanya keterasingan dalam ruang pembangunan dan
pengembanan Hukum Indonesia itu sendiri, yakni pembangunan dan pengembanan
hukum yang tercerabut dari hakekat aslinya sehingga muncul adanya fenomena legal gap
yang merupakan dasar problematika substantif Hukum Indonesia. Keterasingan atau
ketercerabutan pembangunan dan pengembangan Hukum Indonesia dari hakekat asalinya
ini tercermin dari masih dipertahankannya Civil Law System yang pada dasarnya adalah
sistem hukum asing hasil transplantasi oleh kekuasaan kolonial Belanda dalam rangka
kolonialisme dan penjajahannya, yang memiliki konsep dan karakteristik yang amat
sangat berbeda dengan karakteristik asli bangsa Indonesia, sehingga terus
dipertahankannya sistem hukum asing ini dengan segala paradigma dan konsep hukum
yang ada di dalamnya (seperti halnya paradigma filsafat positivisme hukum yang lebih
mengutamakan tujuan kepastian di atas segalanya –termasuk keadilan-) secara niscaya
membawa resultante pada problematika-problematika yang muncul dalam ruang
pembangunan dan pengembanan Hukum Indonesia yang pada intinya berpokok pada
semakin terjauhkannya tuntutan keadilan bagi rakyat.
 Hukum adat dengan kedudukannya sebagai hukum asli bangsa Indonesia yang merupakan
perwujudan nilai-nilai hidup yang berkembang di dalam masyarakat Indonesia sendiri,
membawa akibat terletakkannya posisi Hukum Adat –baik secara yuridis normatif,
filosofis, maupun secara sosiologis- sebagai sentral dan basis dalam ruang pembangunan
dan pengembanan Hukum Indonesia, sehingga hukum adat seharusnya diletakkan sebagai
pondasi dasar struktur hirarki Tata Hukum Indonesia di mana dalam hukum adat itulah
segala macam aturan hukum positip Indonesia mendasarkan diri dan mengambil sumber
substansinya. Jika hal ini dilaksanakan, yang berarti penyadaran proses pembangunan dan
pengembanan Hukum Indonesia dari keterasingannya, maka segala macam problematika
yang muncul sebelumnya dapat dipastikan dengan sendirinya akan teratasi karena hukum
adat adalah sistem hukum asli bangsa Indonesia yang secara logis memiliki karakter yang
berbeda dengan sistem hukum barat namun yang sekaligus mencerminkan karakteristik
asli masyarakat Indonesia itu sendiri sehingga dipastikan keberadaanya selalu akan dapat
memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat. Oleh karena itu, wacana kembali kepada
hukum adat adalah suatu tawaram yang logis, solutif, dan rasional di tengah-tengah segala
kompleksitas problematika dalam ruang pembangunan dan pengembanan Hukum
Indonesia guna terciptanya sebuah Hukum Indonesia yang lebih baik. Yakni Hukum
Indonesia yang sesuai dengan rasa keadilan dan berdasarkan nilai-nilai masyarakat
Indonesia sendiri, Hukum Indonesia yang berke-Indonesia-an, Hukum Indonesia yang
beradatkan Indonesia, Hukum Indonesia yang berdasarkan Hukum Adat Indonesia.





Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Artikel hukum Islam dan hukum adat indonesia"